Image Source : CNN
Raja Ampat belakangan tengah menjadi sorotan usai disebut menjadi korban dari kerusakan lingkungan akibat rencana penambangan nikel. Rupanya Raja Ampat bukan satu satunya wilayah yang menjadi korban dari penambangan nikel yang belakangan tengah menjadi perbincangan.
Riset dari Trend Asia menemukan bahwa setidaknya ada 35 pulau kecil lain di Indonesia yang sudah masuk dalam skema eksplorasi atau bahkan eksploitasi untuk tambang nikel. Juru kampanye Trend Asia, Arko Tarigan, bahkan menyebutkan kalau pulau-pulau itu juga tersebar di berbagai daerah lain selain Papua.
"Raja Ampat bukan hanya korban tunggal, tapi banyak korban-korban lain gitu. Indonesia sendiri itu punya sekitar 17 ribu pulau kecil. Data yang saya riset beberapa waktu yang lalu itu, ada 35 pulau kecil yang sebenarnya sedang terancam dan sudah dieksploitasi sebenarnya," ungkap Arko dikutip dari tayangan Live Instagram bersama Koreksi.org.
Disebutkan bahwa eksploitasi alam ini sebagian besar dilakukan atas nama energi bersih, serta menggunakan jargon transisi energi yang digaungkan dalam kampanye-kampanye besar. Namun, realitanya justru menunjukkan bahwa aktivitas pertambangan di pulau kecil sangat merusak dan mengancam ekosistem secara permanen.
Mirisnya, dari 35 pulau kecil yang jadi sasaran itu, beberapa di antaranya disebut telah memiliki izin usaha pertambangan (IUP) dari pemerintah.
"Sudah keluar IUP-nya, sudah ada izin eksplorasi, itu tersebar di berbagai daerah, mulai dari Sulawesi, mulai dari Maluku, sampai ke Papua. Ini intinya tentang nikel," ungkapnya.
Oleh karena itu, Arko menyebutkan kalau kegiatan pertambangan itu sebenarnya secara hukum seharusnya dilarang. Hal itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K) yang secara tegas melarang adanya aktivitas ekstraktif di pulau-pulau kecil.
"Melarang tentang bagaimana sebenarnya pulau kecil ini tidak boleh ada aktivitas apapun. Aktivitas yang sebagai satunya itu, abnormally dangerous activity. Itu aktivitas di luar dari yang dilakukan oleh manusia," terangnya.
Menurutnya framing transisi energi yang seolah ramah lingkungan sebenarnya hanya dimanfaatkan untuk melegitimasi aktivitas tambang yang eksploitatif.
"Jangan disamakan dengan di pulau kecil ada perkebunan jambu mete dan lain sebagainya, itu tidak ekstraktif. Tapi tambang ini lebih ekstraktif daripada yang kita lihat yang dengan jargon-jargon transisi energi dan lain sebagainya," pungkasnya. (ND)