Image Source :
Sederhana saja alasan Kadir memilih jalan hidupnya sebagai seorang pelawak. Bukan lantaran ingin menjadi seorang selebriti, namun karena ia tak punya modal untuk bekerja di bidang yang lain.
“Pekerjaan yang tidak membutuhkan modal. Kita terjun di seni, kita gabung, kita jadi figuran, sudah dapat makan, dapat gajian,” ujar Kadir saat ditemui media beberapa waktu lalu di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Kadir tak merasa malu bergabung di grup kesenian tradisional ludruk, yang ternyata menjadi jalan pembuka bagi kariernya sebagai pelawak Srimulat.
“Karena pendidikan saya rendah, nggak jadi omongan. Kebanyakan pemain ludruk itu SMA sudah mentok, kadang-kadang SD tamatannya. Ini zaman saya, loh ya, masih zaman sulit,” akunya.
BACA JUGA, 5 Kesalahan Tersembunyi di The Secret Life of Pets
Tak pelak, lawakannya sebagai komedian lawas berbeda dengan komedian masa kini yang lebih banyak muncul dari ajang stand up comedy. Dari segi wawasan, komedian zaman sekarang punya latar belakang yang pendidikan yang lebih baik.
“Kalau anak-anak sekarang dengan pendidikannya yang cukup, banyak mahasiswa jadi pelawak, dengan pengetahuan wawasan yang cukup. Kalau orang-orang pelawak seperti saya sekarang, sulit untuk mikir yang terlalu jauh. Kalau di panggung beda, kita kalah sama anak-anak muda,” ungkapnya.
Lantas, bagaimana Kadir dapat bersaing dalam hal akting dan lawakan dengan para komika muda di film terbarunya, Generasi Kocak: 90an vs Komika? Sulitkah bagi Kadir melakoni perannya?
“Kalau masih mengacu kepada skenario, tidak ada bedanya. Yang berbeda itu lawakan di panggung, bukan main film. Kalau lawakan beda buat orang-orang kuno seperti saya ini. Mungkin loh, ya. Kita belajarnya dengan berjalan saja akhirnya,” tandasnya. O gun/fie